Bila tak berubah, bulan September ini, Departemen Kesehatan RI akan menggelar Pekan Imunisasi Nasional (PIN) di 12 provinsi. Pada PIN kali ini lebih difokuskan pada pemberian imunisai campak di kalangan anak-anak.
Tahun 2005 lalu, kita masih ingat, sejumlah warga di daearah menolak untuk diberikan vaksin polio. Salah satu alasannya, karena menganggap cairan yang ada di dalam vaksin tersebut mengandung zat haram. Dugaan masyarakat ini langsung dibantah oleh Depkes.
Dalam situs resminya, Depkes mengatakan bahwa vaksin polio itu halal. Di situ menuliskan bahwa setelah Komisi Fatwa MUI melakukan penelitian, tidak menemukan unsur haram pada vaksin polio. “Fatwa halal juga berlaku untuk seluruh vaksin polio, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor,” tulis situs resmi Depkes RI, www.depkes.go.id.
Tahun 2005 lalu, kita masih ingat, sejumlah warga di daearah menolak untuk diberikan vaksin polio. Salah satu alasannya, karena menganggap cairan yang ada di dalam vaksin tersebut mengandung zat haram. Dugaan masyarakat ini langsung dibantah oleh Depkes.
Dalam situs resminya, Depkes mengatakan bahwa vaksin polio itu halal. Di situ menuliskan bahwa setelah Komisi Fatwa MUI melakukan penelitian, tidak menemukan unsur haram pada vaksin polio. “Fatwa halal juga berlaku untuk seluruh vaksin polio, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor,” tulis situs resmi Depkes RI, www.depkes.go.id.
Pernyataan Depkes ini jelas tidak benar. Pasalnya, tidak ada dalam fatwa MUI yang menyatakan bahwa vaksin tersebut halal. Adapun pernyataan yang tertuang dalam fatwa itu hanya membolehkan, disebabkan kondisi darurat.
Mengapa Depkes merubah prinsip penting dalam fatwa MUI itu? Juga, yang menjadi pertanyaan, sampai kapankah MUI akan menetapkan hal ini sebagai keadaan darurat? Padahal, menurut data yang Suara Hidayatullah berhasil kumpulkan, kandungan dalam vaksin itu jelas haram. Dan, ternyata sejumlah masyarakat yang menolak vaksin, justeru tidak mengalami hal dikhawatirkan oleh Depkes dan MUI. Alternatif apa yang mereka berikan?
Berikuk laporan utama kali ini. Selamat menikmati!* Ahmad Damanik/Suara Hidayatullah, SEPTEMBER 2007
Tak Ada yang Halal, Haram pun Jadi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengakui vaksinasi polio mengandung zat haram. Tapi, dengan alasan darurat, vaksin diperbolehkan. Sekarang, tergantung Anda.
Mata orang nomor satu di Departemen Kesehatan RI, Dr. Siti Fadilah Supari terlihat berkaca-kaca. Ia tidak lagi mampu membendung butiran air yang keluar dari matanya. Seraya berucap, “Saya mohon, ini jangan terulang lagi.” Sejenak suasana jumpa pers untuk sosialisasi imunisasi campak di gedung Depkes, awal Agustus lalu, menjadi hening. Tak satu pun wartawan yang bertanya, semuanya diam.
Menkes melanjutkan, hingga kini penyakit campak masih menjadi penyebab utama kematian anak balita di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 30 ribu anak meninggal setiap tahun karena komplikasi campak. Ini berarti satu anak meninggal dalam setiap 20 menitnya.
Campak dapat menyerang setiap anak, terutama pada anak yang menderita gizi buruk. Penyakit ini juga dapat menyebabkan cacat dan kematian, jika disertai komplikasi, seperti radang paru, diare, radang telinga, dan radang otak.
Menurutnya, penyakit yang disebabkan oleh virus morbili ini bisa dicegah dengan imunisasi campak. Seorang anak minimal menjalani dua kali imunisasi campak yakni, pada usia 6-59 bulan dan masa sekolah dasar (6-12 tahun). “Imunisasi campak yang diberikan bersama imunisasi rutin dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit campak hingga 48 persen,” terang Siti Fadilah.
Untuk itu, mulai pertengahan agustus hingga september tahun ini, Depkes akan mengadakan imunisasi campak di 12 provinsi, antara lain Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. PIN kali ini adalah kegiatan imunisasi campak terakhir dari lima tahap yang diagendakan selama 2005-2007. Sebanyak 1o.461.574 anak menjadi target program imunisasi yang dibarengi imunisasi polio ini.
Sayangnya kata Menkes, ternyata masih ada orang tua yang menolak vaksinasi terhadap anaknya, karena khawatir efek samping yang ditimbulkan. Tapi alasan ini tidak seberapa dampaknya. Yang lebih drastis, pada Pekan Imunisai Nasional (PIN) Polio beberapa tahun lalu, terjadi penolakan di beberapa daerah di Indonesia. Di daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Banten vaksin polio ditolak karena masyarakat meragukan kehalalannya.
Ternyata hal inilah yang begitu disayangkan Menkes. Katanya, pemberitaan media massa mengenai halal haram vaksin telah membuat masyarakat bingung. Akibatnya sebanyak 700 ribu anak tidak terimunisasi waktu itu.
Seharusnya tidak begitu, katanya. MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin tersebut. Karena alasan darurat, sedang belum ditemukan pengganti yang halal, maka vaksin yang menggunakan enzim tripsin babi dalam proses pembuatannya itu dibolehkan. “Saya juga seorang Muslim. Saya tidak mungkin begitu saja memberikan yang haram,” ujar Menkes.
Menkes mengatakan, pihaknya telah bekerja keras mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi. Hasilnya, tahun lalu lebih dari 90 persen anak yang ditargetkan berhasil divaksinasi. Karenanya Menkes meminta agar media massa tidak memberikan informasi yang keliru tentang masalah ini.
“Hal ini memang sengaja tidak diinformasikan. Karena masalah halal haram sangat sensitif di masyarakat,” katanya.
Babi pada Vaksin Polio
Bisa dikatakan, seluruh vaksin yang beredar di dunia saat ini, termasuk vaksin meningitis yang diberikan kepada seluruh jemaah haji, menggunakan bahan haram dalam pembuatannya. Di antaranya adalah enzim babi, ginjal kera, ginjal babi, hingga janin bayi hasil aborsi.
Professor Jurnalis Uddin, Ketua Dewan Pembina LPPOM MUI membenarkan hal tersebut. Katanya, ditemukannya unsur haram dalam vaksin bermula dari surat edaran yang keluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI). Surat yang dikeluarkan pertengahan tahun 2005 itu adalah peringatan kepada negara-negara anggota OKI tentang adanya penggunaan tripsin babi dalam proses pembuatan vaksin polio.
Guna menindaklanjuti hal itu, Depkes meminta Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ (MPKS) –penasihat Depkes tentang kaitan agama dan kesehatan– untuk menyelidiki hal tersebut. Kemudian MPKS mengundang PT. Bio Farma dan Aventis untuk memberi penjelasan tentang proses pembuatan vaksin polio yang mereka lakukan. Dari situ terbukti bahwa, tripsin babi memang digunakan dalam pembuatan vaksin polio. “Begitu juga dengan vaksin meningitis yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline untuk para jamaah haji,” ujar Prof. Jurnalis.
Prof. Jurnalis mengatakan dirinya telah menanyakan alasan penggunaan tripsin babi pada perusahaan-perusahaan pembuat vaksin tersebut. “Kata mereka, kita tidak pernah memikirkan itu. Di mana-mana di dunia ya pakai enzim babi. Kalau mau diganti dengan enzim sapi maka butuh penelitian sekitar lima tahun dengan biaya yang besar juga,” uar dosen Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta ini.
Tapi setidaknya sejak tahun lalu PT. Bio Farma sedang mengusahakan untuk mengganti bahan babi tersebut. Penelitian ini setidaknya memakan waktu selama tiga tahun.
Direktur Pemasaran PT. Bio Farma, Sarumuddin mengatakan, untuk sementara bahan tripsin masih tetap digunakan, termasuk untuk vaksin campak ini. Tapi dirinya menyangkal adanya penggunaan janin bayi hasil aborsi dalam pembuatan vaksin di PT. Bio Farma.
Dalam penjelasannya Prof. Jurnalis mengatakan, tripsin babi sebenarnya bukanlah bahan baku vaksin. Dalam proses pembuatan vaksin, tripsin hanya dipakai sebagai enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein).
Pada hasil akhirnya (vaksin), enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan. ”Hingga jejaknya pun tidak terlihat lagi,” jelas Prof. Jurnalis. Namun karena sudah tersentuh unsur haram dan najis, status kehalalan vaksin jadi bermasalah.
Contohnya pada pembuatan Vaksin Polio Inaktif (IPV). Virus polio dikembangbiakkan menggunakan sel vero (berasal dari ginjal kera) sebagai medianya. Proses produksi vaksin ini melalui lima tahap. Pertama, penyiapan medium (sel vero) untuk pengembangbiakan virus. Kedua, penanaman virus. Ketiga, pemanenan virus (menggunakan tripsin). Keempat, pemurnian virus dari tripsin. Kelima, inaktivasi /atenuasi virus.
Penyiapan media (sel vero) untuk pembiakan virus dilakukan dengan menggunakan mikrokarier, yaitu bahan pembawa yang akan mengikat sel tersebut. Bahan tersebut adalah N,N diethyl amino ethyl (DEAE). Selanjutnya sel vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier dengan menggunakan enzim tripsin yang berasal dari babi.
Langkah selanjutnya adalah pembuangan larutan nutrisi. Hal ini dilakukan dengan proses pencucian menggunakan larutan PBS buffer. Larutan ini kemudian dinetralkan dengan larutan serum anak sapi (calf serum). Larutan yang tidak digunakan tadi dibuang atau menjadi produk samping yang digunakan untuk keperluan lain.
Sel-sel vero yang sudah dimurnikan dan dinetralisasi itu kemudian ditambahkan mikrokarier yang baru, dan ditempatkan pada bioreaktor yang lebih besar. Di dalamnya ditambahkan zat nutrisi yang sedikit berbeda untuk menumbuhkan sel vero dalam jumlah yang lebih besar. Sel vero yang sudah berlipat ganda jumlahnya ini kemudian dilepaskan lagi dari mikrokariernya dengan menggunakan tripsin babi lagi. Berlangsung berulang-ulang sampai dihasilkan sel vero sesuai banyak yang diinginkan.
Sebenarnya dalam setiap tahap amplifikasi sel, tripsin harus dicuci bersih karena tripsin akan menyebabkan gangguan saat sel vero menempel pada mikrokarier. Lewat pencucian atau pemurnian ini, produk vaksin yang dihasilkan bersih dari sisa tripsin. Jadi tripsin hanya dipakai sebagai bahan penolong dalam proses pembuatan vaksin.
“Tapi karena telah terjadi persinggungan dengan bahan yang haram, status kehalalan vaksin jadi bermasalah,” gugat Prof. Jurnalis.
Kenapa Harus Babi?
Obat-obatan dan kosmetika modern dari Barat kerap menggunakan babi, kenapa? Wakil Ketua LP POM MUI, Dr. Anna Priangani Roswiem mengatakan, karena babi mempunyai susunan DNA yang hampir mirip dengan DNA manusia. ”Susunan DNA babi hampir mirip dengan DNA manusia,” jelas Dr. Anna yang juga dosen Biokimia di Institut Pertanian Bogor ini.
Dalam masalah cangkok katup jantung, misalnya. Menurut Dr. Anna katup jantung babi lebih cocok bila dicangkokkan pada manusia, dibanding sapi atau kambing. Karena susunan DNA yang hampir sama, maka tubuh manusia tidak menganggap katup jantung babi tadi sebagai benda asing.
Perbandingan Struktur Insulin Manusia, Babi, dan Sapi
Insulin Manusia : C256H381N65O76S6 MW=5807,7
Insulin Babi : C257H383N65O77S6 MW=5777,6
(hanya 1 asam amino berbeda)
Insulin Sapi : C254H377N65O75S6 MW=5733,6
(ada 3 asam amino berbeda)
(sumber: Jurnal Halal LP POM MUI)
Bagan Proses Produksi Vaksin Polio Inaktif (IVP)
Selain tripsin babi, ternyata ada unsur haram lainnya dalam produksi vaksin. Yaitu janin bayi hasil aborsi. Menurut laporan LPPOM MUI, beberapa vaksin memang dihasilkan dari calon bayi manusia yang sengaja digugurkan. Seperti vaksin Cacar Air, Hepatitis, dan MMR (Measles Mumps Rubella/campak, gondok, dan ) diperoleh dengan menggunakan fetal cell line (sel janin) yang diaborsi, yakni MRC-5 dan WI 38.
Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian tubuh seperti paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus, dan hati yang diperoleh dari aborsi janin. Vaksin untuk cacar air, hepatitis A, dan MMR diperoleh dengan menggunakan fetal cell line yang diaborsi, MRC-5, dan WI-38. Vaksin yang mengandung MRC-5 dan WI-38 adalah beberapa vaksin yang mengandung cell line lipoid manusia.
Bio Farma, selaku satu-satunya pemasok resmi vaksin yang ditunjuk pemerintah pada PIN campak kali ini, mengatakan tidak memakai sel janin hasil aborsi dalam pembiakan virusnya. Kata Direktur Pemasarannya, Sarumuddin, virus campak dibiakkan dalam telur ayam yang sangat bersih dari kuman. Tapi diakuinya, ginjal jabang bayi kera sampai saat ini memang masih digunakan sebagai alat bantu dalam pembiakkan virus.
Zat Haram dalam Obat
Sebagian dokter memberitahukan kandungan haram dalam obat. Sayangnya, sebagian besar dokter justru tidak memberitahukannya.
Sentuhan zat haram tak hanya pada vaksin saja, beberapa obat-obatan di pasaran juga mengandung zat yang sama. Fakta bahwa kebanyakan obat batuk yang beredar di pasaran mengandung alkohol. Ada juga obat pengencer darah mek LEVANOX buatan Aventis, biasa digunakan untuk mengobati sakit jantung, terang-terangan menulis “bersumber babi” pada kemasannya.
Sebagian dokter ada yang memberitahukan kandungan bahan haram dalam obat kepada pasiennya, tapi banyak juga yang tak memberitahukan. Celakanya, sebagian besar dokter di Indonesia, tidak mengetahui status kehalalan obat-obat yang digunakan untuk para pasiennya. Prof. Jurnalis mengatakan, hampir 99 persen dokter di Indonesia tidak mengetahui halal haramnya obat yang beredar. Karena para dokter memang tidak pernah diajarkan masalah itu.
Kata Prof. Jurnalis para dokter mendapatkan informasi tentang obat dari kuliah mereka. Setelah menjadi dokter mereka mendapatkan informasi tentang obat dari buku ISO terbitan ISFI yang terbit tiap tahun, dari buku MMIS edisi Indonesia yang terbit tiap tahun, atau jurnal dan seminar.
Informasi yang diberikan oleh berbagai sumber tadi seputar bahan aktif obat, khasiat obat, indikasi pemakaian obat, kontra indikasi, efek samping, dosis, dan kemasan. Info mengenai kehalalan atau bahan haram yang mungkin terdapat di dalam suatu obat sama sekali tidak ada.
Itu dokternya, bagaimana dengan para bidan yang menjadi ujung tombak pelaksanaan imunisasi?
”Benar, bidan memang tidak memikirkan tentang halal dan haram. Yang kita pikirkan, imunisasi adalah untuk pencegahan dan itu harus dia lakukan,” demikian jawaban Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia, Harni Koesno dalam wawancara di kantornya.(Surya Fachrizal, Ahmad Lutfi Efendi/Suara Hidayatullah, SEPTEMBER 2007)
Mencari Alternatif Vaksin Haram
Tolak vaksin haram, mencari alternatif yang halal. Solusinya, kembali ke alam. Mungkinkah?
Di antara sekian banyak orang tua yang menolak vaksinasi untuk anaknya adalah Tasyrif Amin, ayah delapan orang anak. Bagi pria yang sehari-hari berprofesi sebagai dai ini, “Sedikit pun saya tidak yakin dengan imuniasi.”
Setidaknya ada dua hal yang membuat Ketua Departemen DPP Hidayatullah ini menolak vaksinasi terhadap anak-anaknya. Yaitu kandungan zat kimia yang terkandung dalam vaksin dan jaminan kehalalan. “Bukankah dalam imunisasi itu ada unsur kimianya? Siapa yang dapat menjamin kehalalan imunisasi?,” gugat pria yang tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan ini.
Sebagai dai, Tasyrif lebih meyakini sunnah yang dicontohkan Nabi Saw. Yaitu, ketika anak lahir, maka sunnahnya ia diperdengarkan adzan, di-tahnik dengan madu atau kurma, diberi ASI (air susu ibu) secara sempurna, diberi nama yang baik, diaqiqah, dan lain-lain.
“Alhamdulillah, kedelapan anak saya, semuanya sehat-sehat. Bisa diadu fisiknya dengan anak-anak yang diberi imunisasi,” tantang pria yang hobi main bulutangkis ini.
Serupa dengan Tasyrif Amin, seorang ayah di Depok, Hanif, mempunyai sikap yang sama. Pilihannya itu ia ambil setelah mendapat masukan dari seorang bidan di daerahnya. Bidan beranak lima itu, memberikan imunisasi pada empat orang anaknya, sementara yang terakhir sama sekali tidak. Ternyata, anak yang tidak diimunisasi, kesehatannya jauh lebih prima dibandingkan yang diimunisasi. Demikian juga pada hal kecerdasan.
”Di situ saya mulai tertarik,” ujar ayah dua orang anak ini. Makanya, anaknya yang terakhir tidak ia beri imunisasi. Hanif dan istri sepakat untuk anak keduanya ini diberi imunisasi yang bersifat alamiah, seperti ASI dan madu. Kebetulan, orang tua Hanif mempunyai keahlian di bidang herbal.
Vaksin Halal
Keinginan para orang tua mencari pengganti vaksin yang dianggap haram, tentu bisa dimaklumi. Terutama pada keluarga yang menganggap penting segala bahan atau zat yang masuk pada tubuh anak harus mengandung unsur halal. Tidak hanya makanan dan minuman, termasuk vaksin.
Tasyif Amin dan Hanif hanya sebagian kecil dari orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan vaksin yang halal. Masih banyak lagi orang tua yang serupa dengan mereka. Misalnya, beberapa orang tua yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Beberapa orang tua itu sudah menegaskan penolakannya pada vaksin yang beredar. Sikapnya tegas, ”Vaksin haram.”
Wujud dari sikap itu, para orang tua tersebut yang dikomandoi oleh Mohammad Asdwin Riezka Noor meluncurkan sebuah situs bernama www.imunisasi-halal.com. Situs yang baru berusia setahun itu, memasang sebuah kalimat dalam situs itu, ”Batal Sudah Kedaruratan.”
Menurut Asdwin, pada dasarnya istilah darurat menjadi landasan MUI untuk memperbolehkan vaksin polio sudah tidak tepat. Sebab, tambahnya, banyak alternatif yang bisa dijadikan bahan untuk memberikan imunitas pada anak atau ibu hami. ”Allah menyampaikan kepada kita bahwa madu bisa jadi obat, selain itu banyak tumbuhan yang bisa dijadikan obat,” kata ayah dengan tiga orang anak ini.
Menurut Asdwin, yang tengah menulis buku tentang masalah vaksin ini, imunisasi seharusnya bukan membuat tubuh kebal pada satu penyakit saja. Menurutnya, imunisasi adalah semua usaha untuk membuat tubuh kita lebih kebal terhadap segala jenis penyakit. Tapi, dalam sistem kesehatan Barat, kekebalan hanya untuk virus dan bakteri saja. Padahal sistem tubuh manusia bukan hanya kebal terhadap virus dan bakteri saja. Tapi kebal terhadap penyakit-penyakit lain, seperti diabetes, struk, asam urat, darah tinggi dan lainnya.
Asdwin melanjutkan, jadi vaksinasi hanya akurat untuk satu jenis virus atau bakteri saja. Jika virus A maka dilawan dengan vaksin A, kalau virusnya B vaksinnya B juga. “Jadi ketika virus itu bermutasi tubuh kita tidak bisa lagi memproduksi kekebalan baru,” jelasnya.
Mengutip perkataan pakar herbal Dokter Ali Toha Segaf, Asdwin mengatakan, agama Islam itu adalah agama kesehatan. Jadi semua ibadah apakah itu sholat, shaum, itu mendukung kekebalan tubuh manusia.
Kata Asdwin, sebagai muslim, jika ingin mendapatkan kesehatan yang baik dan benar, ternyata sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Yaitu dengan merubah sistem kesehatan tubuh. Jadi kalau sekarang sistem yang dipakai sehari-hari adalah sistem Barat, maka harus diganti dengan sistem kesehatan Islami. Ketika vaksinasi dihentikan, maka penggantinya adalah imunisasi yang islami, halal, dan baik.
Di dalam Islam imunitas didapat dari banyak hal. Pertama, dengan melaksanakan ibadah dengan benar. Shalat dan berpuasa dengan cara yang benar. Kedua, dengan cara pengobatan. Rasululullah S.A.W. menyarankan banyak sekali pengobatan, ada bekam (hijamah), habbatussauda (jintan hitam), madu dan obat alam lainnya.
Meski begitu, Asdwin tidak menyarankan untuk menghentikan vaksin sekarang juga. Menurutnya hal itu tidak bijaksana. “Indonesia ini penghasil tanaman obat dengan varietas terbanyak di dunia, tapi belum semuanya tergali. Marilah kita gali alternatif-alternatif apa yang bisa kita lakukan,” ujarnya.
Asdwin sendiri mengaku sudah mulai merubah sistem kesehatan keluarganya dengan sistem kesehatan islami. Anak ketiganya tak menjalani imunisasi sama sekali. Dia juga mengganti kebisaan minum susu (formula) dengan meminum madu. Selain itu, ditambah beberapa produk herba. “ Alhamdulillah anak saya yang pertama dulu ada gejala autisnya tapi sekarang berangsur-angsur hilang“.
Rekomendasi MUI kepada pemerintah untuk mengatasi status darurat vaksin polio, menganjurkan setiap ibu untuk menyusui anaknya dengan ASI, terutama colosterum secara memadai (sampai dengan usia dua tahun).
(Surya Fachrizal, Dwi Budiman, Sarmadani, Ahmad Damanik/Suara Hidayatullah)
Box 2
Imunisasi Halalan Thoyiban
1. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun tubuh atau kekebalan tubuh manusia.
2. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan manusia.
3. Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
4. Tidak memberikan vaksinasi yang mengandung toksin/racun bahan berbahaya yang menjadi ancaman manusia, seperti bahan kimiawi sintetis, logam berat (heavy metal), hasil metabolit parsial, toksin bakteri, dan komponen dinding sel.
5. Tidak memeberikan vaksinasi dan obat-obatan yang mengandung bahan yang haram secara syari’at :
• Alkohol dan turunannya, yang bersifat seperti alkohol, yaitu apabila dikonsumsi memabukkan.
• Tidak mengandung darah, daging babi, dan hewan yang ketika disembelih tidak menyebut nama Allah.
• Tidak menggunakan daging yang diharamkan menurut syari’at, seperti hewan buas, bertaring, bangkai, dll.
• Tidak dikembangbiakkan dalam darah hewan apapun, daging babi, dan dalam makhluk hidup yang diharamkan menurut syari’at.
6. Membiasakan untuk mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat membangun sistem kekebalan tubuh manusia.
7. Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia. Sumber: imunisasi-halal.com
Prof. Jurnalis Uddin
Dosen Kedokteran di Universitas YARSI
“Perlu di Uji Laboratium Terlebih Dahulu“
Menurut saya belum ada vaksin yang bisa diganti dengan herbal. Belum ada bukti ilmiah dari herbal yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu. Kita harus buktikan secara ilmiah.
Untuk membuktikan hal itu ada tahap-tahapnya. Pertama, studi kepustakaan. Mendukung atau tidak. Kedua, uji laboratorium, mendukung atau tidak. Sesudah itu uji pada binatang. Lalu diuji pada manusia. Dimulai dengan manusia sehat. Yang disebut dengan uji toksisitas. Baru kemudian diuji pada manusia sakit dalam jumlah yang sedikit.
Kalau hasilnya baik, barulah diuji pada manusia sakit yang banyak. Jika hasilnya baik maka boleh di lepas ke pasar. Setelah beredar kita pantau lagi, ada efek samping yang tidak baik atau tidak.
Terhadap obat-obat herbal, di Indonesia khususnya, kita tidak skeptis. Silahkan makan. Tapi kalau ada yang mengklaim, obat herbal ini bisa mengobati penyakit tertentu, kita tidak begitu saja menerima.
Memang, selama ini herbal yang dikonsumsi masyarakat tidak berbahaya, maka pemeritah membiarkan.* Suara Hidayatullah, SEPTEMBER 2007
KH. Ma’ruf Amin
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Kita Tidak Menghalalkan yang Haram !
Bagaimana pandangan MUI tentang status halal vaksin?
Bahwasanya vaksin yang akan dipakai untuk (imunisasi polio tahun lalu) itu memang terdapat unsur haram (porcine/tripsin babi).
Lalu apa tanggapan MUI saat itu?
Kalau (bahan babi itu) memang ada penggantinya kita tidak akan izinkan. Tapi menurut Depkes (Departemen Kesehatan) tidak ada kecuali itu. Apabila yang sepenuhnya halal tidak ada, tidak ada alternatif, padahal polio itu sangat berbahaya, dan bahayanya cukup besar, maka kita menyatakan itu boleh karena darurat.
Apa maksudnya boleh karena darurat?
Zat itu (tripsin babi) tetap haram, tapi diperbolehkan karena kondisi darurat.
Apakah ini berarti vaksin menjadi halal?
Kita tidak menghalalkan yang haram. Sementara kita gunakan yang haram karena darurat. Karena sampai sekarang belum ada (vaksin) yang halal untuk ini (polio). Karena ini darurat, ya kita pakai. Begitu juga dengan (vaksin) campak ini.
Apakah Depkes sudah meminta fatwa MUI tentang vaksin Campak?
Perasaan saya belum. Untuk Campak kita belum membuat apa-apa.
Bagaimana dengan penggunaan ginjal kera dan janin bayi hasil aborsi sebagai media pembiakan virus untuk vaksin?
Iya. Iya itu ya haram. Itu memang tidak diperbolehkan.
Apa pertimbangan MUI menyatakan kedaruratan masalah ini?
Presentasi dari Depkes memang menakutkan kalau itu dibiarkan. Polio merupakan bahaya. Yang katanya dari datang dari Sudan, ke Jeddah, ke Sukabumi, terus melebar ke mana-mana. Bahaya polio sedemikian mengancam. Generasi kita akan menjadi generasi polio kalau tidak divaksinasi.
Apakah ada rekomendasi yang MUI berikan kepada pemerintah?
Kita minta agar pemerintah mengupayakan obat (vaksin) yang sepenuhnya halal. Jadi ini hanya untuk sementara.
Bagaimana dengan hadits Rasulullah S.A.W yang menyatakan bahwa Allah tidak menjadikan obat dari yang haram?
Itu kan kaidah umumnya. Tapi kalau yang ditemukan baru yang haram dan kalau tidak ditanggulangi akan menimbulkan kesulitan. Karena itu terpaksa digunakan, untuk saat itu. Sementara saja.
Agama kan memberikan keluasan, kemudahan, ketidaksempitan. Dalam keadaan seperti ini itu bisa diperbolehkan. Dalam zat itu (zat tripsin babi,) tetap haram, tapi diperbolehkan karena kondisi darurat.
Seperti dalam hal makanan saja. Kalau tidak ada yang bisa dimakan pada saat itu kecuali yang haram, maka diperbolehkan. Famanidh thurro ghairo baaghin wa laa ‘aadiin falaa itsma ‘alaihi (barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya al Baqarah : 173).
Bagaimana dengan orang tua yang menolak anaknya divaksinasi?
Seharusnya tidak menolak. Karena menurut Depkes kalau ada yang terkena dampaknya, dampaknya akan luas sekali. Sebab kalau anaknya terkena polio, maka itu akan menyebar. Jadi usaha yang dilakukan oleh pemerintah menjadi tidak berguna.
Kabarnya ada perusahaan farmasi swasta yang meminta sertifikat MUI untuk vaksin yang mereka produksi?
Memang ada, tapi kami tidak mau memberikan. Karena vaksin itu hanya bisa dipakai kalau yang meminta adalah pemerintah, dalam hal ini Depkes. kalau swasta, nanti malah banyak yang minta.
Kenapa demikian?
Kita tidak mau memproduksi obat-obat (haram) seperti itu. Itu hanya karena darurat. Kalau swasta, tidak jelas digunakan untuk apa. Apa untuk jualan? Kita tidak memberikan izin untuk jualan. (Ini) hanya untuk keperluan darurat yang diperlukan pemerintah.* Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah, SEPTEMBER 2007
Skandal Penghapusan Jejak Thimerosal
Kasus penyakit autis di Amerika Serikat terus bertambah. Dugaan itu berkaitan dengan zat merkuri dalam vaksin. Anehnya, fakta ini berusaha ditutupi.
Robert Kennedy JR., aktivis lingkungan asal Amerika Serikat, pernah melakukan investigasi skandal pemerintah AS dalam penyembunyian fakta tentang kaitan vaksin bermerkuri dengan peningkatan kasus autisme di AS. Dalam laporan yang diterbitkan di Majalah Rolling Stones dan Majalah Salon, Robert mengungkap pertemuan rahasia antara para ilmuan dan ahli kesehatan pemerintah AS dengan sejumlah pengusaha farmasi pada Juni 2ooo, di Simpsonwood, Norcross, Georgia.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), pesertanya terbatas, dan . Pesertanya para pejabat tinggi dari CDC dan FDA (Asosiasi Makanan dan Obat), sejumlah ahli vaksin dari WHO, dan sejumlah perwakilan dari perusahaan vaksin, termasuk GlaxoSmithKline, Merck, Wyeth, dan Aventis Pasteur. Pihak CDC melarang keras penyebaran data-data ilmiah dalam pertemuan itu.
Robert mengatakan, menurut catatan pertemuan Simpsonwood, para peserta tersentak dengan adanya kaitan tak terbantahkan antara Thimerosal (pengawet vaksin) dengan merebaknya penyakit kerusakan otak pada anak.
Tom Verstraeten, seorang epidemilogis dari CDC mengatakan, bahwa pengawet berbahan dasar merkuri (thimerosal), nampak sebagai penyebab mengilanya peningkatan penyakit autisme dan penyakit saraf lainnya pada anak-anak. “Saya begitu tercengang dengan apa yang saya lihat,” kata Verstraeten menanggapi hasil penelitiannya terhadap 100 ribu catatan kesehatan anak di AS ini.
Dia menambahkan, penelitian sebelumnya juga telah menemukan hubungan antara thimerosal dengan keterlambatan bicara dan penurunan perhatian anak, anak hiperaktif, dan autisme. Sejak tahun 1991, ketika CDC dan FDA (Asosiasi Obat dan Makanan) merekomendasikan penggunaan tiga vaksin tambahan yang mengandung pengawet kepada bayi yang baru lahir – dalam setiap jam kelahiran – prakiraan kasus autisme meningkat hingga 15 kali lipat, dari satu kasus dalam 2,500 anak menjadi satu dalam 166 anak.
Meski demikian, bukannya menghentikan penggunaan vaksin ber-themirosal dan memperingatkan masyarakat akan bahanya, para peserta pertemuan malah sibuk membahas cara menutupi data-data tersebut. Menurut catatan yang dikeluarkan Aksi Kebebasan Informasi (FIA), kebanyakan peserta pertemuan khawatir data-data tersebut akan berdampak buruk pada industri vaksin. “Ini akan menjadi incaran empuk para jaksa penuntut hukum di negeri ini,” kata Dr. Robert Brent, dokter anak di Rumah Sakit Anak Alfred I. duPont di Daleware, AS.
Setelah itu, CDC malah membiayai Institut Pengobatan (Institut of Medicine) agar melakukan riset yang menghilangkan resiko thimerosal. CDC juga meminta para ilmuan agar “menghapus” kaitan antara thimerosal dengan autisme. Kini, CDC mengatakan telah “kehilangan” data-data yang sangat penting untuk penyelidikan tersebut.
Hal ini diperparah dengan adanya peraturan yang mewajibkan vaksinasi. Di AS, para orang tua yang menolak anaknya divaksinasi dikenai denda $1o ribu. Jika tidak mampu membayar, mereka harus rela mendekam di penjara selama sembilan bulan. Di Indonsia, walau tidak ada sanski hukum bagi orang tua yang menolak memvaksinasi anaknya, menurut Menkes mereka akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Selain itu, para orang tua tersebut juga harus menandatangani surat pernyataan penolakan mereka.
Para perusahaan vaksin di AS sudah mulai meniadakan thimerosal pada vaksin yang disuntikkan pada bayi-bayi Amerika. Tapi mereka tetap menjual vaksin bermerkuri tadi sampai tahun 2004 lalu. CDD dan FDA juga membantu mereka dengan membeli vaksin-vaksin bermasalah tersebut untuk dieksport ke negara-negara berkembang. Sedangkan Amerika sendiri, penggunaan vaksin bermerkuri sudah berhenti sejak akhir 2003 lalu.
Robert mengatakan, pemerintah AS tidak bisa begitu saja cuci tangan dari hal ini. Katanya, pemerintah AS telah gagal memperingatkan organisasi-organisasi kesehatan internasional dan negara-negara dunia akan bahaya vaksin bermerkuri ini. “Berdasarkan jaminan AS, hingga saat ini mereka terus menyuntikkan anak-anak di negara berkembang dengan zat kimia perusak otak ini” kata Robert.
Anak-anak penderita autis memiliki kadar merkuri lebih tinggi dibanding anak normal. Sedang hasil penelitian menunjukkan adanya kemajuan yang signifikan pada anak-anak penderita penyakit otak ini, setelah menghilangkan zat merkuri dari otak mereka.(Surya Fachrizal, dari berbagai sumber/Suara Hidayatullah, September 2007)
+ komentar + 1 komentar
bagus
Posting Komentar
Bagi yang berkomentar diharapkan mencantumkan Nama dan Email.